Dialog Panjang tentang Temu dan Pisah

Koentjara dan Awan — dua pemuda yang sibuk berdialog tentang indahnya bertemu dan suramnya berpisah, di pinggir pantai Banda Neira. Senyap dalam selubung hati terpatahkan, diganti rasa asing yang memanjakan.

Koentjara, pemuda yang baru saja tiba di pelabuhan Banda Neira sore itu mengangkat koper-koper yang ia bawa dari Batavia setelah beberapa bulan berlayar. Orang-orang yang bersibuk diri di pelabuhan nampaknya sudah tidak heran melihat kedatangan sosok baru di pulau mereka. Sekalipun penampilan Koentjara nampak necis dengan rambut klimisnya serta setelan kaus berkerah dan celana hitam yang melekat pada tubuh tegap nan tinggi itu. Sapaan ramah justru ia dapatkan dari dua-tiga warga yang bolak-balik mengangkut bakul ikan.

Kabar terakhir yang Koentjara terima, bahwa tokoh-tokoh nasional banyak yang dibuang di sini — membuat hatinya mantap untuk menerima hukuman yang diberikan oleh pemerintah kolonial masa itu: pengasingan sebagai tahanan politik.

Bukan salah Koentjara sepenuhnya, tatkala nyaris satu tahun lalu ia diseret seorang Belanda keluar dari kantor pos dengan serentetan cacian. Pria berkulit putih itu memaki dirinya dan beberapa orang lain ‘Klootzakken bij elkaar!’ (para bajingan tidak tahu diri) karena sebuah surat yang hendak ia kirimkan pada Sjahrir, tentang kekhawatirannya pada lelaki yang diasingkan itu; sementara ia sendiri tidak tahu sebab-musabab tiga orang lain yang ikut diseret pula sehingga memancing polisi setempat datang dan membawa mereka — pemuda-pemuda malang tadi — untuk diadili.

Pengadilan menjatuhkan vonis pada keempat pemuda termasuk Koentjara, bahwa mereka akan diasingkan di tiga pulau yang berbeda: Banda Neira, Ende, dan Bengkulu. Koentjara sendirian diasingkan di wilayah timur sana karena dianggap berpihak pada Sjahrir yang merupakan ancaman bagi Belanda — meskipun sebetulnya, ia tak benar-benar sendirian. Banda Neira, justru merupakan tempat pengasingan Sjahrir dan kawan-kawan seperjuangannya. Ada secercah harapan, mungkin Koentjara bisa menemukan sosok penuh wibawa itu di sana; bergabung dalam perjuangan selanjutnya.

“Hei, Nak. Bisa tolong bantu aku ‘tuk angkat koper-koper ini?”

Anak kecil yang ia tepuk punggungnya itu menatap Koentjara dengan bingung. “Apa kau orang-orang itu?”

“Orang-orang apa?” Kening Koentjara mengernyit. Keduanya saling bertatapan dengan penuh kebingungan.

“Orang-orang bebal yang diasingkan! Bapak bilang, orang-orang tinggi itu akan selalu bawa orang yang bebal datang ke sini.”

Setelah mengerti maksud kalimat anak itu, seulas senyum tampil di wajah Koentjara. Rupanya benar — masyarakat Banda sudah paham ketika ada pendatang baru di pulau mereka.

“Namaku Kusni.” Anak kecil itu, menyapa Koentjara lagi dan mengulurkan tangannya, “Siapa nama Oom?”

“Namaku Koentjara.”

“Koen — tjara?”

“Benar, Kusni.” Koentjara tertawa sembari mengusak puncak kepala bocah itu.

“Nama Oom sulit sekali dieja,” protes anak itu. Kelihatannya, Kusni masih berpikir keras untuk mengingat-ingat nama Koentjara. Terdengar begitu asing, dengan pelafalan yang cukup rumit.

“Panggil saja, Oom Koen.”

Koentjara sudah mendapatkan rumah untuk pengasingannya; sebuah rumah dekat gereja tua Banda. Tidak begitu besar dan asri, begitu impresi pertama ketika ia menginjakkan kaki di sana. Pepohonan yang menghiasi sekeliling halaman, desisan ombak yang menggapai bibir pantai, menambah syahdu suasana menjelang malam di sana.

Sang wira menyelundupkan kakinya ke dalam pasir — menghayati tiap butiran putih yang berlomba mengisi celah jemarinya. Senyum tak pernah lepas dari wajah; ini adalah ketenangan yang selalu ia dambakan. Setelah berjibaku dengan segala persuratan dan birokrasi pengadilan yang memang tidak pernah berpihak pada kalangan bumiputera, ia akhirnya menginjakkan kaki di tempat ini. Tanah pengasingan, yang sebetulnya menurut Koentjara terlalu indah untuk disebut demikian.

“Koh Awan! Koh Awan! Bawa obor!”

Sayup-sayup Koentjara menangkap suara segerombol anak muda yang berjalan menuju ke arah pantai. Mereka terlihat membagi kelompok, dengan seorang pemegang obor di tiap regunya. Manik Koentjara tak bisa lepas dari gerombolan anak muda itu — lebih tepatnya, kepada sesosok pemuda tinggi dengan rambut hitam pendek serta mata yang sipit.

Rasa penasaran mulai menghinggapi relung sanubarinya. Bahwasanya ia bimbang, haruskah ia ikut menghambur dalam kelompok anak muda itu atau berdiam diri di sini dan menyaksikan saja? Sejujurnya, ia penasaran sekali dengan sosok bermata sipit itu.

Terlalu lama tenggelam dalam dua pilihannya sendiri, Koentjara tidak sadar jika sosok bocah tadi sore — Kusni, datang menghampirinya.

“Oom Koen! Oom sedang apa? Kenapa sendirian?”

Kekehan singkat keluar dari bibir Koentjara. “Hanya sedang menikmati berjalan kaki di pasir pantai.”

Anak itu manggut-manggut, lantas menggenggam tangan Koentjara dengan penuh percaya diri. “Oom, ikut sama Kusni dan teman-teman, mau tidak?”

“Mau ke mana, Kusni?”

“Yah,” Kusni menggaruk telinganya, “cari loki, kepiting, ikan, apa saja yang bisa dibakar malam ini, Oom!”

Koentjara mengangguk setuju, lalu ia ditarik menuju gerombolan pemuda itu.

“Hei Kusni! Siapa orang ini?”

“Teman-teman! Ini dia Oom Koen, beliau orang dari Batavia!”

Para pemuda itu saling pandang, sebelum salah satunya — si pemuda bermata sipit maju dan bertanya, “Orang-orang bebal itu?”

Koentjara tersenyum seraya mengangguk dan mengatupkan kedua tangannya di dada. “Salam, saya Koentjara dari Batavia. Saya baru tiba di sini, sore tadi. Kalian bisa panggil saya, Koen.”

Sambutan hangat diberikan oleh kelompok pemuda itu. Mereka menepuk punggung Koentjara dan merangkul sang wira, tanpa canggung, tanpa risih. Eksistensi Koentjara diterima dengan senang hati, pun ia jadi sering diberi bekal ilmu mengenai tanah yang kini ia pijaki.

Mereka semua — ada tiga belas orang — mulai berpencar menggali lubang dan menyusuri pantai. Tangan-tangan yang sudah cekatan itu menyelidiki sudut-sudut pantai yang kemungkinan menjadi tempat bersembunyi para makhluk laut. Tentu dengan penuh kewaspadaan, meski para pemuda itu mengaku sudah sering dicapit kepiting dan lobster. Ada pula yang pernah tersengat pari — tidak sengaja, dan masih hidup pula, begitu pengakuannya.

Satu hal yang Koentjara sadari sejak awal, bahwa di pulau ini, semua etnis bersatu padu. Tidak ada dinding etnosentris yang membatasi pergaulan mereka, bahkan isu rasisme pun sepertinya sulit berkibar di sini. Hal itu semakin memperkuat keyakinan Koentjara saat Awan — sosok yang memegang obor bersamanya — berkisah tentang kehidupannya.

“Tidak jauh dari gereja itu, ada klenteng.” Awan membuka percakapan keduanya sesaat setelah aktivitas mereka selesai. Riuh ombak yang begitu tenang menemani kebersamaan mereka malam itu. “Aku tinggal di sekitaran klenteng itu.”

“Benarkah?” Koentjara menatap penuh binar pada Awan, “Rumahku dekat gereja!”

“Ah, kau menempati rumah bekas salah satu orang Moor yang terkenal di sini.”

“Orang Moor?”

“Orang-orang Arab yang hijrah ke pulau ini, sama seperti kami dan pedagang lainnya. Mereka berjualan kain dan kurma, sesekali menukar manisan kurma dengan bubur putih buatan Ama.”

Koentjara mengangguk, “Sebetulnya aku tidak tahu-menahu tentang rumah yang kutinggali. Para opsir yang mengantarku hanya bilang aku harus menempatinya selama sekian tahun.”

“Sekian tahun? Sekian tahun itu berapa lama?”

“Entahlah,” jawab Koentjara ragu. Ia sendiri bahkan tidak yakin apakah pihak pemerintah Hindia Belanda akan menuntaskan hukuman untuknya.

Awan terdiam memandangi langit.

“Hei, Awan,” panggil Koentjara. “Aku ingin bertanya suatu hal.”

“Apa itu?”

“Menurutmu, apakah bertemu itu selalu berarti bahagia, dan berpisah itu artinya petaka?”

Lamunan merasuk dalam pikiran Awan yang tengah menikmati gelapnya langit malam. Pemuda itu seketika terdiam kala mendengar pertanyaan Koentjara. Sebelum akhirnya, sebuah senyuman pahit terulas di wajahnya.

“Dahulu, ayahku berdagang di pinggiran Batavia,” ungkap Awan, “hingga ketika wilayah pasar yang ia tempati diserang sekelompok serdadu Belanda, ayahku tak pernah kembali.”

Koentjara terhenyak. Benaknya menerka-nerka apa maksud dari kalimat Awan.

“Kalau pertanyaanmu tentang temu yang selalu berarti bahagia dan pisah artinya petaka — mutlak bagi seluruh peristiwa, maka aku akan menjawab iya.”

Begitu kalimat Awan selanjutnya mampu menjawab rasa penasaran Koentjara, pria itu lantas mengusap punggung Awan demi menyalurkan rasa empati. Kehilangan orang tua bukanlah sebuah kejadian yang dikehendaki.

Awan termenung menatap deburan ombak yang berkejaran. Hatinya terenyuh mengingat peristiwa kelam yang terjadi beberapa tahun silam.

Belakangan Koentjara tahu, dari penuturan Awan, bahwa sang ayah diketahui wafat ketika seseorang dari Batavia mendatangi Pulau Banda; menemui keluarganya dan mengantarkan sebuah surat wasiat. Awan masih jelas mengingat, sosok yang mengantarkan surat wasiat dari ayahnya itu menangis tersedu-sedu, bahkan hanya mampu bersimpuh. Keluarga Awan pun tidak bisa berbuat apa-apa. Yang terakhir kali ia dengar, jenazah ayahnya bahkan tidak dibakar atau dimakamkan dengan layak. Semua korban penyerangan itu dibuang begitu saja di tengah hutan.

“Tapi, Koen,” lanjut Awan, “ketika dua orang harus berpisah demi kebaikan satu sama lain, maka itu bukanlah petaka.”

“Mengapa begitu?”

Awan mengubah posisi duduknya dan menghadap penuh pada Koentjara. Digenggamnya erat-erat kedua tangan Koentjara sembari menatap dengan penuh keyakinan.

“Jika suatu saat nanti, kau harus kembali ke Batavia,” Awan menghela napas, “dan itu demi memperjuangkan hakmu, hakku, hak bangsa ini untuk merdeka …”

Genggaman itu semakin erat, seiring manik sipit Awan yang mulai berair, “… maka ‘pisah’ itu bukanlah petaka yang harus dihindari, tetapi bahagia yang harus diraih.”

Koentjara dan segenap hatinya tersentuh. Awan adalah sosok yang kuat dan tangguh; Awan yang begitu terbuka menyambutnya, dan begitu hangat menggenggam tangannya. Awan yang punya cita-cita merdeka dari belenggu. Awan yang saat ini, detik ini — mengisi relung dalam sanubarinya tanpa permisi.

Wajah Awan disirami cahaya bulan yang cerah. Rambutnya yang halus berlomba-lomba mengusik pandangan si empunya, sampai membuat Koentjara tertawa dan menyingkirkan helaian hitam itu dari keningnya.

“Mungkin aku akan kembali,” ucap Koentjara, “mungkin juga tidak.”

“Maksudmu, Koen?”

“Entahlah, Awan. Aku datang ke sini karena diasingkan,” timpal Koentjara. “Kalau aku kembali, maka orang-orang Belanda itu akan mencari seribu cara untuk mengasingkanku ke tempat lainnya.”

Awan kembali terdiam. Ada rasa tak enak di hatinya mendengar jawaban Koentjara.

“Tapi, Awan,” lanjut Koentjara, “aku akan mempertimbangkan ucapanmu. Ketika kata ‘merdeka’ sudah ada di genggamanku, aku akan kembali menemuimu di sini.”

Pemuda sipit itu tersenyum kecil.

“Kutunggu bahagia itu datang bersamamu, Koen.”

Malam itu menjadi saksi bisu, bahwa Koentjara menambah satu alasan lagi untuk bertahan sedikit lebih lama di Banda Neira; kenyataan bahwa dirinya tidak bisa menolak untuk melabuhkan rasa dan asa pada sosok di hadapannya.

--

--

𝐲𝐨𝐮𝐫𝐬 𝐭𝐫𝐮𝐥𝐲, 𝐄𝐥𝐢.
𝐲𝐨𝐮𝐫𝐬 𝐭𝐫𝐮𝐥𝐲, 𝐄𝐥𝐢.

Written by 𝐲𝐨𝐮𝐫𝐬 𝐭𝐫𝐮𝐥𝐲, 𝐄𝐥𝐢.

0 Followers

🟄 write a lot, read a lot. fub free.

No responses yet